Resensi Buku "Asia dan Australia (Kompas Traveller)"








Judul                          : Asia dan Australia (Seri Kompas Traveller)
Penulis                      : Myrna Ratna
Perancang Grafis   : A Novi Rahmawanta
Penerbit                   : Penerbit Buku Kompas
Tahun                        : 2013
Halaman                   : 126
ISBN                           : 978-979-709-770-7
 

Setiap akhir pekan di koran Kompas atau Kompas Minggu, ada rubrik Perjalanan yang memuat ulasan wartawannya saat berkunjung ke suatu daerah atau negara. Buku ini merupakan buku yang memuat tulisan perjalanan Myrna Ratna, wartawan senior Kompas yang pernah dimuat di Kompas Minggu dalam rentang waktu 2002-2013. Tulisan dalam buku ini, sama seperti judulnya memuat kisah perjalanan Myrna ke beberapa negara Asia termasuk beberapa daerah di Indonesia  dan beberapa negara bagian di Australia.

Bagi Myrna sebuah perjalanan yang dilakoninya bukan sekadar melaksanakan tuntutan pekerjaan yang memberinya kesempatan berkunjung ke berbagai tempat. Tapi perjalanan-perjalanan yang dilaluinya memiliki arti tertentu, dan tentu perjalanannya ke luar negeri membuatnya semakin mencintai Indonesia.

“Setiap perjalanan memiliki arti khusus, karena saya percaya sebuah perjalanan selalu mengubah. Ketika datang dan pergi, kita tak pernah sama lagi.”

Buku ini dibuka dengan pengalaman Myrna menyesap senja di Gili Trawangan. Ia begitu terkesan dengan pulau tanpa kendaraan bermotor tersebut, namun ia juga merasa prihatin melihat warga lokal yang semakin tergerus dengan maraknya pembangunan fasilitas pariwisata seperti hotel, resor, dan vila-vila.

“Seiring dengan pesatnya perkembangan pariwisata di pulau ini--ketika resor, hotel, dan restoran berebut menjejali lahan pinggir pantai--permukiman penduduk semakin tergusur ke arah bukit. Warga yang tercecer ini kemudian menjadi seperti "tamu" di tanah kelahirannya.”

Pembaca juga diajak menyusuri Kampung Citalahab Sentral yang berada di tengah kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNHS) Jawa Barat. Penduduknya hanya 18 keluarga dan satu sama lain saling berkerabat. Konon penduduk desa ini juga awet muda dan ada yang diduga berusia sampai seabad lebih. Tapi sayang di kampung itu tidak ada sekolah sehingga anak-anak harus menempuh jarak sekitar 3 kilometer untuk bersekolah (SD).

Beralih ke Jawa Timur, pembaca diajak merasakan jejak keemasan Kerajaan Majapahit pada abad XIII-XV di Trowulan, Mojokerto. Situs kota dengan luas 99 kilometer persegi atau 11 kilometer x 9 kilometer dan menyimpan ratusan ribu peninggalan arkeologis. Ada beberapa situs yang dikunjungi seperti kolam kuno Segaran yang masih dialiri air. Wringin Lawang yaitu gapura simetris dari batu bata merah, Candi Brahu dan Candi Tikus yang merupakan bangunan petirtaan dengan puluhan pancuran, makam Putri Campa (Permaisuri Raja Majapahit terakhir, Brawijaya), pekuburan Islam Troloyo, makam Panjang yang menunjukkan adanya penghuni Trowulan sebelum era Majapahit.

Selanjutnya adalah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Di sini penulis menginap dan mendirikan tenda di padang edelweis alun-alun Suryakencana. Perjalanan berlanjut ke Dusun Pegandon, Desa Pegandon, Karang Dadap, Pekalongan Timur. Di sini batik tidak seindah kehidupan para pembatik. Para pembatik banyak yang sudah renta dan tidak ada penerus lagi.

“Para pembatik tersebar di rumah-rumah penduduk. Kebanyakan mereka bekerja di bagian belakang rumah yang pengap dan tanpa penerangan. Bahkan, tak sedikit yang harus berbagi tempat dengan kandang ayam, sambil menghirup aroma tak sedap dari aliran limbah rumah dan asap kayu bakar.”

Di Asia Tenggara, penulis mengunjungi Saigon atau Ho Chi Minh City dan Singapura. Di sini Saigon, ia mengunjungi terowongan yang dulu dijadikan sebagai salah satu siasat perang atau simbol perjuangan oleh tentara Vietnam (Vietkong) melawan tentara AS. Terowongan Cu Chi berada di Desa Phu My Hung, 70 km barat daya Saigon. Selain itu juga mengunjungi Vung Tau yang berjarak 128 kilometer dari Saigon. Vung Tau pada masa penjajahan Prancis disebut Cap St Jacques dan menjadi tempat peristirahatan warga kelas atas Saigon. Pelabuhan di Vung Tau menjadi sorotan dunia ketika kapal terakhir yang mengangkut pasukan AS meninggalkan Vietnam tahun 1973.

Di Singapura, Myrna mengunjungi Reservoir MacRitchie yang merupakan reservoir (daerah tangkapan air) tertua di negara kota itu. Hutan ini berada di utara Orchard Road atau sekitar 10 menit berkendara. Biasanya dijadikan tempat bagi para joggers untuk berolahrga atau jogging.

Di Asia Selatan, penulis mengunjungi Mumbai, India. Kota yang cukup paradoks, tempat dimana kaum miskin dan superkaya berbaur, kemiskinan dan kemakmuran warga kelas atas berkumpul di kota yang dulu bernama Bombay ini.

“Begitulah, Mumbai penuh dengan kekontrasan. Sejarah perdagangan India dimulai di kota ini. Demikian jengan industri film, musik, dan mode. Mumbai mempertemukan beragam kasta, agama, dan kelas sosial.”

Di Asia Timur, Myrna mengunjungi Nara, Jepang dan Tiongkok. Nara adalah ibu kota pertama Jepang sebelum dipindahkan ke Kyoto selama hampir seribu tahun. Ia mengunjungi kuil-kuil, salah satunya kuil Todai-ji yang menjadi pusat kegiatan agama Buddha sebelum masa kekaisaran Meiji. Dimana pada saat Meiji berkuasa, kaisar memutuskan pada 1868 yang menjadi kepercayaan yang diakui secara resmi adalah Shinto.

Di Tiongkok Myrna mengisahkan pengalamannya bertemu dengan keluarga Muslim dari etnis Hui. Wu Yanxia dan Fang Hui, suaminya merayakan kelahiran anaknya dengan tradisi Islam, mendoakan keselamatan untuk bayinya.

Untuk Australia mendapat porsi sedikit dalam buku ini, hanya dua cerita yang dikisahkan (Meniti Jembatan Lengkung Sydney dan Menyusuri Samudera, Menuju Purrumbete). Purrumbete, adalah rumah yg dibangun tahun 1838 oleh Dinasti Manifold yang terletak di pinggir danau dan dikelilingi taman bunga yang luas. Awalnya luas Purrumbete 100.000 acre dan diurus 100 pelayan, tapi kini tinggal 400 acre. 1 acre = 4.046 meter persegi.

Dengan tulisan Myrna yang detail mendeskripsikan suasana di suatu tempat, pembaca seolah-olah bisa merasakan atmosfer tempat tersebut. Apalagi buku ini dilengkapi dengan foto-foto dan halaman yang berwarna. Membaca kisah perjalanan dalam buku ini mengasyikkan dan tidak membuat bosan. Dengan jumlah halaman yang sedikit, buku ini bisa habis dalam sekali duduk. Membaca buku ini membuat saya ingin mendatangi tempat-tempat dalam buku ini.
Ada catatan saya tentang buku ini, satu saja yaitu kesalahan penempatan halaman atau halaman yang tertukar. Seharusnya halaman 50 di halaman 52. Karena ada kata yang tidak sinkron dengan kalimat berikutnya di halaman berikutnya. Di halaman 50, diujung halaman tertulis “jam sudah...” Tapi lanjutannya di halaman 52 awal tidak ada tertulis jam berapa tapi disambung dengan kata “mengumpulkannya”. Namun penunjuk jam ada di halaman 53 “menunjukkan pukul 17.00” dan ini tidak sinkron dengan ujung hal 52 yang tertulis “begitulah,”.
Saya beri 4 bintang untuk buku ini dan tempat yang paling ingin saya datangi di buku ini adalah padang Edelweis Suryakencana dan Mumbai, India. Happy reading folks, XOXO.


Comments

Popular Posts