Resensi Buku "Titik Nol" - Tentang Safarnama yang Tak Biasa

Judul            : Titik Nol; Makna Sebuah Perjalanan
Penulis          : Agustinus Wibowo
Penerbit        : Gramedia Pustaka Utama
Halaman       : 568
Tahun Terbit : 2013
ISBN            : 978-979-22-9271-8








Beberapa tahun belakangan ini, di rak-rak toko buku banyak kita temukan buku yang mengisahkan tentang catatan pengembaraan para pejalan ke berbagai belahan bumi, baik di nusantara maupun mancanegara. Dari yang terdekat dari Indonesia, sampai di tempat terjauh di bumi. Traveling mulai menjadi tren yang cukup berkembang, apalagi setelah muncul penerbangam dengan harga tiket yang cukup fantastis murahnya (budget airlines).
Liburan ke luar negeri kerap menjadi pilihan, bahkan karena jauh lebih murah tiketnya dibandingkan misalnya kita berlibur ke ujung timur Indonesia.

Berwisata ke luar negeri tak hanya bisa dilakukan orang-orang dengan penghasilan tinggi, tapi karyawan dengan gaji pas-pasan di atas UMP lebih sedikit pun bisa menikmati liburan ke luar negeri. Banyaknya buku panduan traveling belakangan ini bermacam-macam jenisnya. Ada panduan traveling dengan biaya terbatas, tips-tips bagi para pejalan lengkap dengan rincian biaya, ada juga buku cerita perjalanan yang diceritakan dengan renyah dan kocak.

Titik Nol, buku tebal lima ratus halaman lebih ini bukan jenis buku panduan bagaimana menembus suatu negara dengan berbagai rincian biaya, tapi buku ini adalah tentang safarnama yang tak biasa. Safarnama adalah bahasa Persia yang berarti catatan perjalanan. Kenapa ini tak biasa? Karena safarnama ini tak sekadar menceritakan keelokan tempat-tempat yang dikunjungi penulis, tapj perjuangan bagaimana sampai di tempat-tempat yang dicita-citakan Ming, panggilan Agustinus ke negara impiannya. Tujuan perjalanan bagi Ming sejatinya adalah bukan pada tujuan, tapi proses bagaimana ia berusaha menuju tempat yang dimimpikannya. Esensi itulah yang coba disampaikan dalam buku ini.

Agustinus bermimpi menjadi petualang, pengelana sampai ke benua Afrika melalui jalur darat. Demi mimpinya, karier gemilang yang menanti pascakelulusannya dari universitas nomor satu di Tiongkok ia abaikan. Jalan hidup yang ia pilih justru menjemput impiannya meski orang tuanya jelas kecewa dengan keputusannya. Berkelana dipilihnya, mencoba mengais dan memenukan sesuatu, sesuatu yang abstrak yang hanya bisa dirasakan melalui perjalanan.

Negara tujuan pengembaraannya ini pun yang anti mainstream. Buku ini merupakan ceceran safarnama pria kelahiran Jawa Timur jni ke Nepal, India, pelosok Pakistan, dan Afghanistan yang pernah diposting di blog pribadinya. Tentunya dalam safarnama ini pembaca tidak hanya disuguhkan deskripsi keindahan tempat-tempat yang dikunjungi penulis. Tapi juga pengalaman-pengalaman buruk penulis yang diceritakan secara jujur dalam buku ini seperti upaya pelecehan seksual dari seorang laki-laki di Pakistan, terjebak dalam sebuah kericuhan demonstrasi di Pakistan, perampokan, dan pengalaman interaksi penulis dengan para penduduk lokal yang bisa memperkaya rasa dan empati kita.

Petualangan paling gila dituliskan Agustinus adalah pada saat berkeliling Afghanistan dengan menumpang truk. Dalam kondisi tak pernah mandi berhari-hari, wajah kotor tertutup debu, berkomunikasi dalam bahasa lokal setempat, bahkan tidur di lantai kedai teh di daerah yang sangat terpencil. Bahkan ia pun menjadi akrab dengan suara ledakan bom di negara itu. Kendati negara itu dipenuhi konflik dengan ledakan bom yang setiap waktu menghantam, ia sangat menikmati. Baginya, negeri itu penuh kejutan. Agustinus juga sempat menjadi fotografer di sebuah media di Kabul, ibukota Afghanistan demi menyambung hidup dan menambah pundi keuangannya untuk biaya melanjutkan mimpinya ke negara di kawasan Asia Tengah.

Tapi pada akhirnya ia harus kembali ke Indonesia. Meskipun dilematis baginya, tapi kepulangannya itu untuk menunjukkan bakti kepada ibundanya yang tengah berjuang melawan penyakit kanker. Buku ini layak untuk dimasukkan dalam daftar bacaan yang wajib dibaca. Sayangnya, penjilidan buku ini sepertinya kurang maksimal karena beberapa halaman banyak yang lepas sehingga pembaca perlu lebih hati-hati membolak-balik halaman.

Review ini juga pernah dimuat di koran Suara NTB bulan November 2014. Tapi lupa tanggal berapa. Hehehehe

Comments

Popular Posts